Header Ads

Link Banner

Seperti Inilah Sulitnya Membuat Satu Halaman Website

Sewaktu saja masih belajar HTML saja (jaman SMA), saya enggak pernah percaya kalau membuat satu halaman website static, bisa membutuhkan waktu 2 bulan, bahkan lebih. Karena secara teknis, tidak besar tantangannya. Tetapi setelah saya bekerja, ternyata kenyataannya seperti itu.
Saya ambil contoh. Halaman website yang perlu dibuat isinya hanya: judul singkat dalam format teks, satu video, dalam satu halaman website. Tidak perlu ada animasi, efek-efek aneh-aneh, kolom komentar, dll. Benar-benar hanya halaman website biasa, dan static (tidak ada informasi yang secara regular diupdate).
Bagi web developer, ini pun tergolong mudah. “Ahh elah.. Bikin satu page HTML. Kasih tag <h1> di judul. Videonya pake JWPlayer aja. Kalau mau agak bagus, pakai aja template-template jadi. Atau biar di mobile enak dilihat, pakai Bootstrap atau Foundation juga bisa. 20 menit juga itu jadi maahh…”
Kenyataannya? 2 bulan ! Beneran. Total waktu dibutuhkan dari permintaan itu disebutkan, sampai dengan akhirnya halaman website itu jadi, bisa jadi butuh waktu 2 bulan, atau bahkan lebih. Kenyataan itu keras bung. Di perusahaan-perusahaan besar ini awam terjadi. Kenapa bisa begitu? Begini contohnya:
Hari 0
Presiden Direktur mengirimkan email ke Direktur Marketing, isinya seperti ini:
“Tolong buat satu halaman di website (perusahaan) kita. Judulnya “Penghijauan Kembali Lahan Bekas Tambang”. Terus kasih video dokumentasi aktifitas CSR perusahaan kita disitu. Videonya ada di DVD. Tadi saya sudah minta tim saya mengantarkan DVD nya ke meja. Kalau sudah jadi, kasih tahu saya.”
Hari 1-3
Direktur Marketing meneruskan email tersebut ke web developer di perusahaan tersebut. Dengan permintaan seperti ini, tentu  pikiran pertama si developer adalah membuat page HTML biasa, static. Kasih judul. Tempelkan videonya, playernya menggunakan plugin JWPlayer. Selesai.
Seperti halnya proses bisnis di perusahaan besar lainnya, semua hal harus ada approval setelah final. Karena itu, setelah halaman website ini jadi, harus minta approval dulu sebelum ditampilkan ke publik. Developer harus minta review dan persetujuan Direktur Marketing terlebih dahulu sebelum halaman website nya dipublikasikan. Namun, karena direktur sibuk sekali, akhirnya baru dapat waktu untuk review 3 hari kemudian. (Lihat, di sini saja sudah memakan waktu 3 hari).
Direktur Marketing [DM] : “Gini aja halamannya? Kasih penjelasan dong. Ini kegiatan apa.., siapa pihak yang ada di dalam video ini, kapan.. Masak gini doang, gak informatif.”
Developer [Dv]: “Materi yang diberikan kemarin cuma itu kemarin bos. Gak ada teksnya.”
DM: “Ya kamu buat sendiri lah. Masak gitu aja gak bisa.”
Dv: “Ok bos. Siap..”
Lalu si developer kembali ke mejanya, menambahkan satu paragraf dalam bahasa Indonesia. Isinya penjelasan video itu tentang apa, kapan, dan dimana. Selesai edit, developer kembali ke ruang Direktur untuk review lagi sebelum di-publish. Tapi direktur marketingnya sudah pergi ke ruang lain untuk meeting lain. “Besok sore aja, dia kosong kok besok sore.”, ujar sekretarisnya.
Hari 4
Keesokan sorenya, developer masuk ke ruang Direktur Marketing.
Dv: “Sudah saya tambahkan bos penjelasannya. Sudah bisa saya publish kah?”
DM: “Hmm.. ya masih terlalu plain sih. Tapi ya sudahlah. Coba kamu ke bagian PR (Public Relation). Kalau mereka OK, ya sudah publish aja.”
Developer tidak menemukan tim PR di mejanya. Sepertinya sedang di luar kantor semua, acara media gathering. Dikirimlah email, beserta link halaman websitenya (masih di server development). Tetapi tidak ada balasan, mungkin karena semua tim PR memang sedang kelimpungan juga mengurusi acara di Kempinski hingga tengah malam.
Hari 5
Salah satu tim PR akhirnya membalas email : “Ini apa ya?”
Developer mengangkat telpon, dan menjelaskan ke mereka ini tentang apa. Lalu tim PR bilang: “Ok sih. Tapi videonya harusnya pakai yang lebih baru aja. Nanti aku minta tim dari Kalimantan kirim deh videonya.”
Hari 6-8
Tim dari Kalimantan belum mengirimkan videonya. Developer menanyakan kembali via email ke tim PR.
Tim PR: “Oh iya sorry. Videonya masih di-edit di agency. Tapi besok sudah kok katanya.”
Hari 9
Video sudah diterima. Konversi lagi ke format mp4, ubah ukuran resolusi, dan upload. Karena ada perubahan video, developer inisiatif menemui lagi Direktur Marketing, sekadar update saja. Kenapa tidak via email? Sudah jadi rahasia umum, Direktur Marketing mereka tidak suka diskusi sesuatu yang visual via online. Harus face-to-face.
Ternyata beliau tidak di tempat. Sang Direktur Marketing sedang di kantor Google. Katanya mau ada program promosi bersama. Jadi halaman website ini direview oleh tangan kanannya yang ber-title: General Manager [GM]. GM nya ini belasan tahun berkarir sebagai supervisor di lapangan sebelum naik jabatan dan pindah divisi ke Marketing.
GM: “Ini videonya kok tentang tanam-tanam pohon semua sih? Emangnya perusahaan kita bisnisnya tanam pohon?”
Dv: “Err.., ini untuk campaign program CSR kita bos. Bukti kita peduli sama lingkungan.”
GM: “Eh.. ujung tombak perusahaan kita itu jualan semen. Ya harus ditunjukkan. Paling enggak, editlah videonya, diselipin aktifitas pabrik dan penjualan kita. Inget ya, kita itu harus selalu ingat kerja keras teman-teman kita di pabrik dan di bagian penjualan. Kalau butuh video-video lainnya, minta tim PR. Mereka pasti punya banyak koleksi videonya.”
Dv: “Siap boss..!”
Hari 10-13
Tim PR memberikan beberapa koleksi videonya. Developer akhirnya minta tolong tim desain untuk membantu edit video. Tapi karena tim desain sedang kejar deadline membuat poster sponsor Liga Super Indonesia, edit videonya harus menunggu 3 hari.
Hari 14
Video sudah jadi. Sudah diupload. Tim PR juga OK. Di dalam rapat bulanan para bos-bos, GM menyempatkan untuk menunjukkan halaman website tersebut ke Direktur Marketing. Kebetulan di sebelahnya duduk Direktur Operasional [DO]. DO ini berkewarganegaraan Perancis, negara asal induk perusahaan ini.
DO: (dalam bahasa Inggris) “Kenapa teks penjelasannya dalam bahasa Indonesia saja? Kamu pikir perusahaan holding kita di Perancis bisa Bahasa Indonesia semua?”
Developer kembali minta tolong tim PR, agar membuat teksnya dalam bahasa Perancis juga.
Hari 15
Developer menunjukkan halaman websitenya ke Direktur Marketing.
DM: “Gue sih sudah Ok. Tim PR juga sudah OK kan? Ya udah, publish aja.”
Dv: “Okee. Siaap bos..”
DM: “Eh bentar. Coba tunjukin juga ke Direktur Operasional. Ya, biar dia tahu aja sudah diupdate, sekarang sudah ada bahasa Perancisnya.”
Developer ke ruang Direktur Operasional. Menunjukkan videonya sudah diperbaharui.
Dv: “Bos. Paragrafnya sudah ditambahkan versi bahasa Perancisnya.”
DO: “Hah? Mana? Ini videonya belum ada subtitlenya gitu kok??”
Iya. Betul. Direktur Operasionalnya memang tidak pernah minta subtitle. Tapi kalau levelnya sudah direktur, percuma didebat.
Hari 16-19
Developer meminta bantuan tim desain lagi untuk menambahkan subtitle di dalam video. Mereka juga sedang padat jadwalnya. Jadilah butuh 3 hari baru selesai.
Hari 20
Developer menemui Direktur Operasional kembali. Kali ini dia sudah puas. Keluar dari ruangan, si Developer berpapasan dengan Direktur IT (DI). Ditanya, lagi project apa kok tumben ke ruang Direktur Operasional. Developer menjelaskan tentang halaman website ini. Dia kaget, karena tidak tahu ada “project” ini. Jadilah dia ikut mereview.
DI: “Ini kalau saya mau lihat di perangkat mobile bisa?”
Dv: “Err, kayaknya enggak sih bos. Harus ada penyesuaian lagi.”
DI: “Kenapa gak taruh di YouTube aja sih? Terus embed ke halaman web ini. Jadi pasti bisa dilihat di perangkat apapun kan?”
Dv: “Iya sih bos.”
DI: “Ya sudah, taruh di YouTube saja. Sekalian gitu loh, biar YouTubers bisa lihat”
Hari 21-35
Video sudah di-upload ke YouTube. Halaman website sudah jadi, tinggal di-publish. Tiba-tiba Direktur PR [DP] mendatangi meja si developer.
DP: “Eh, saya kok ketemu video kegiatan CSR kita di YouTube ya? Bocor darimana itu ya?”
Dv: “Loh, emang saya yang upload bos. Biar bisa di-embed di halaman website kita.”
DP: “Kamu upload di akun YouTube siapa?”
Dv: “Akun saya pribadi bos”
DP: “Ya mana bisa gitu.. Kalau video resmi perusahaan, ya harus diupload di akun resmi perusahaan. Kamu jangan sembarangan.”
Dv: “Akun resmi kita di YouTube apa, bos?”
DP: “Coba kerjasama sama tim saya saja. Mereka yang tahu.”
Developer menemui tim PR. Dan ternyata Perusahaan tidak memiliki akun resmi apapun di social media kecuali Twitter. Dan ternyata, secara policy, setiap pembuatan akun social media resmi di tiap-tiap negara, harus melalui proses submit, review dan sertifikasi dari perusahaan induknya di Perancis. Proses ini memakan waktu paling cepat 2 minggu.
Hari 36
Akun resmi perusahaan di YouTube sudah jadi. Video sudah diupload. Halaman website juga sudah jadi. Tinggal publish. Lalu datanglah email dari Direktur PR.
DP: “Jangan lupa, pastikan legal tahu ya. Siapa tahu di dalam video ada muncul brand lain yang kita tidak punya ijin untuk menampilkan. Banyak alat-alat pabrik yang terlihat di video itu soalnya.”
Developer memastikan via email ke Tim Legal [TL].
TL: “Ohh. Gak apa-apa kok brand itu muncul di video. Soalnya masih dalam batas wajar, toh gak diomongin. Eh iya, Talent Release nya tolong kirim ke saya ya.”
Dv: “Talent Release apaan bos?”
TL: “Itu loh. Kalau ada muka-muka orang yang muncul di video, kan harus ada perjanjian tertulis kalau mereka memang bersedia ditampilkan. Apalagi kalau mereka pekerja third-party, bukan karyawan kita. Sudah ada kan dokumennya?”
Developer tidak pernah tahu soal ini, jadi tim PR lah yang ditanyain. Dan mereka juga kurang tahu, tim di Kalimantan (yang membuat video di lapangan) lah yang tahu. Dan ternyata memang belum ada dokumen tersebut. Butuh waktu 3 minggu untuk tim di Kalimantan bisa melacak satu per satu orang-orang di video tersebut untuk dimintai persetujuan legalnya.
Hari 57
Akhirnya semua dokumen lengkap. Developer membantu tim legal mensortir dokumen Talent Release tersebut. Di saat itu tim HR juga sedang di ruang legal untuk mengurus perkara tuntutan serikat buruh. Mereka melihat video di preview halaman website ini.
Tim HR: “Eh ini videonya untuk publish di internal kan?”
Dv: “Enggak bos. Ini untuk di website. Belum di publish sih.”
Tim HR: “Hah? Untuk umum?! Eh.. jangan dipublish dulu. Ini video orang-orang di pabrik gak beres semua. Lihat tuh, ada yang gak pakai helm, safety shoes, vest standar perusahaan. Yang di kantor juga gak pakai ID Card.”
Dv: “Ya gak keliatan norak kok bos. Masih bagus kok keliatan di videonya.”
Tim HR: “Bukan gitu. Kita ini kan punya standar ISO, sertifikasi HSE (Health, Safety & Environment), dan sertifikasi – sertifikasi lain. Jadi yang kaya gini ini gak boleh ada lagi harusnya. Apalagi kita bentar lagi mau di audit. Kalau video ini bocor, bisa berabe kita. Ah.., untung saya kesini, jadi halaman webnya belum sempat dipublish. Hampir jantungan saya..”
Dv: “Errr…, halaman webnya belum sih bos. Tapi.. anuu.., videonya sih sudah ada di YouTube dari hampir 2 minggu lalu, hehehe.”
Tim HR: (pingsan beneran).
Dan akhirnya, sampai di hari ke 60 pun, halaman website yang sederhana ini tidak pernah terbit.
Variasi
Variasi dari kejutan-kejutan lainnya banyak sekali. Misal:
  • Ternyata menurut tim legal, di setiap footer halaman website harus ada Disclaimer dan Copyright Policy. Tetapi setiap pemasagan Disclamer dan Copyright ini harus mendapatkan “restu” dari holding mereka di Perancis.
  • Menurut Policy di IT, setiap penerbitan dokumen baru di internet (termasuk halaman website), harus dilakukan penetration test terlebih dahulu. Karena penetration test yang dilakukan ada banyak (termasuk untuk database, jaringan, firewall, dll), terpaksa masuk antrial jadwal penetration test dulu.
  • Di tengah-tengah proses ini, bisa jadi tim leader di Kalimantan ada yang resign. Jadi proses administrasi dokumen Talent Release tadi bisa jadi bakal berantakan.
  • Direktur Keuangan tidak setuju dengan video yang ditampilkan. Menurut dia, prinsip keterwakilan tidak ada di video ini. Yang muncul hanya orang-orang pabrik, dan tim CSR. Seolah-olah tim keuangan tidak penting di perusahaan. Padahal video ini adalah image perusahaan untuk umum. (Iya, rada absurd sebenarnya, tetapi ini mungkin sekali terjadi).
  • Seorang VP dari Perancis, tangan kanan Group CEO, ternyata sedang berkunjung ke Indonesia. Dia baru saja menghadiri seminar Digital Creativity for Enterprise di Singapore. Dia bilang “Saya kemarin ikut seminar. Itu isinya ahli-ahli semua. Mereka punya data hasil riset resmi. Jadi mereka bilang, untuk membuat nyaman melihat screen komputer dalam waktu lama, harus dominasi warna biru dan putih. Tolong semua elemen di halaman website ini dibikin desainnya kebiru-biruan ya.”
  • dst..
Jadi kalau ada yang bilang ke anda, “Saya baru menyelesaikan proyek saya, lama banget, 6 bulan. Padahal bikin 1 halaman website aja sih.” Bukan berarti halaman websitenya itu rumit sekali dan banyak fitur. Tetapi prosesnya itulah yang rumit dan “penuh fitur”.
Catatan: #bukancurcol Ini fiksi dari gabungan pengalaman bekerja sebagai web developer, konsultan untuk client dan bekerja di client. Nama departemen, jenis bisnis, dll nya hanya random aja. Semuanya sekadar untuk ilustrasi.
[Update] Please don’t get me wrong. Dalam tulisan ini, yang saya mau sampaikan adalah: This is what could happen in real life web development. It will happen, a lot, if not most of the time. Jadi tantangannya bukan hanya soal teknis. Mau pakai NodeJS kek, Python kek, Scala kek, CSS 5 kek, HTML 9 kek, tantangan seperti ini selalu hadir. Seringkali malah lebih dominan.


Hari 61
Presiden Direktur [PD] memasuki ruang Direktur Marketing.
PD: “Didn’t I tell you to make a new page on our website?”
DM: “Oh, yes, sir. I remember that.”
PD: “SO WHERE THE F**K IS THE WEB PAGE??!! I WANNA SEE IT..!”
DM: “Eh.. mm.. IT still working on it, sir. ” (senyum kecut)
PD: “2 months for a single web page??! I’m gonna f**k IT Department ! ”


sumber : http://okto.silaban.net/2015/03/website/seperti-inilah-sulitnya-membuat-halaman-website/

Tidak ada komentar